Sunday, September 8, 2013

Politik Hukum Undang-undang Pemerintahan Daerah


Sejak awal, para pendiri negara menyadari bahwa Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan serta penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa, tidak mungkin dikelola secara sentralistik. Dengan kata lain, otonomi bagi kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk merupakan conditio sine quanon. Prinsip dasar tersebut kemudian dituangkan ke dalam konstitusi yang menjadi pedoman dasar dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan[i].

Sejarah pemerintahan di Indonesia telah mengalami pasang naik dan pasang surut sebagai gambaran sebuah dinamika. Sampai saat ini setidaknya telah ada 8 undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, yaitu:
1)     UU No. 1 Tahun 1945;
2)     UU No. 22 Tahun 1948;
3)     UU No. 1 Tahun 1957;
4)     UU No. 18 Tahun 1965;
5)     UU No. 5 Tahun 1974;
6)     UU No. 22 Tahun 1999;
7)     UU No. 32 Tahun 2004; dan
8)     UU No. 20 Tahun 2008.
Akan tetapi, permasalahan yang berkaitan dengan otonomi daerah nampaknya tidak pernah selesai[ii]

Salah satu persoalan yang muncul mewarnai hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah adalah mengenai pembagian kekuasaan. Perubahannya bergerak secara dinamis dari satu kutub yang bersifat sentralistik ke kutub lain yang bersifat desentralistik seperti layaknya sebuah pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk politik[iii].

Pada negara kesatuan, pendulum sentralisasi – desentralisasi idelanya berada pada titik keseimbangan. Negara bangsa tidak mungkin memilih salah satu alternatif sentralisasi atau desentralisasi karena akan memunculkan anarki[iv]. Dalam konteks ini, maka pembicaraan tentang model pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penting supaya pilihan kebijakan yang diambil sekurang-kurangnya dapat memuaskan kalangan masyarakat luas, jika tidak memungkinkan memuaskan semua pihak.

Masalah yang sering menjadi pusat perhatian dalam studi tentang pemerintahan daerah adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi.[v] Jadi, otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis. Artinya, di negara demokrasi dituntut adanya pemerintahan daerah yang mempunyai hak otonomi. Adanya pemerintahan daerah yang demikian itu juga menyempurnakan suatu ciri negara demokrasi, yaitu kebebasan[vi].  Kesimpulan ini diambil karena salah satu karakter demokrasi adalah adanya kebebasan. 

Dalam bahasa yang lain, hubungan antara demokrasi dengan desentralisasi adalah sebagai berikut:
1)     untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty);
2)     untuk menumbuhkan kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka; dan
3)     untuk memberikan pelayanan yang sebaik-banyaknya terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan yang berbeda[vii].

Selanjutnya, bagaimanakah hubungan antara negara hukum dengan desentralisasi? Jamak diketahui, bahwa secara tradisional negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)  adanya undang-undang dasar sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya;
2)  adanya pembagian kekuasaan yang dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan
3)  adanya pemencaran kekuasaan negara/pemerintah[viii].

Berkaitan dengan hal tersebut, maka adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah pusat. Jadi, asas desentralisasi merupakan salah satu cara pembatasan kekuasaan yang dengan demikian mengandung makna sebagai salah cara menegakkan negara hukum.

Hubungan kekuasaan (gezagsverbaounding) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menunjukkan sifat yang vertikal. Suatu kekuasaan sama dengan hak untuk mengambil tindakan yang wajib ditaati[ix].

Pemahaman kekuasaan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek formil dan aspek materiil. Dari aspek formil, kekuasaan adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa dan organ mana yang berhak mengambil tindakan serta syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar kekuasaan itu sah. Jika dilihat dari aspek materiil, maka tindakan kekuasaan merupakan jawaban pertanyaan tentang bagaimana sifat-sifat tindakan itu, apakah mengatur, mengurus, atau mengadili. Dari sudut ini dapat dipahami bahwa urusan merupakan bentuk tindakan kekuasaan dari aspek materiil, sedangkan untuk menjalankan urusan ini, pelaku harus mempunyai kewenangan untuk bertindak[x].

Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan[xi]. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 kedudukan, yaitu

  • sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan
  • sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.

Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 asas, yaitu:

  • asas desentralisasi;
  • asas dekonsentrasi; dan
  • asas tugas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.

Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat[xii].

Ditinjau dari aspek organisasi pemerintahan, maka pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melahirkan adanya dua macam organ pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah wilayah. Pemerintah daerah adalah organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi, yang dalam konteks Indonesia adalah kabupeten/kota. Sedangkan pemerintah wilayah adalah organ pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi[xiii].

Para ahli mengidentifikasikan bagaimana otonomi diberikan dan seperti apa cakupannya ke dalam 3 ajaran yaitu formil, materiil, dan nyata (riil). Keseluruhan ajaran itu menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dalam sistem otonomi formil, pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci di dalam undang-undang. Basis ajaran ini adalah tidak ada perbedaan sifat urusan yang diselenggarakan oleh pusat dan daerah. Sistem ini memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri[xiv]. Jadi, titik berat sistem otonomi formil adalah pertimbangan daya guna dan hasil guna pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab[xv].

Berbalikan dengan sistem otonomi formil, maka sistem otonomi materiil memuat secara rinci pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Basis ajaran ini adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jadi, urusan-urusan pemerintahan itu dianggap dapat dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan[xvi].

Sementara itu, sistem otonomi riil dianggap sebagai kompromi antara kedua sistem terdahulu[xvii]. Dalam sistem ini,  penyerahan urusan kepada daerah otonom didasarkan kepada faktor-faktor riil. Di samping itu, sifat kompromistis nampak bahwa sistem ini mengutamakan sistem otonomi formil karena mengandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem otonomi materiil nampak dengan adanya urusan pangkal yang diserahkan dan dikembangkan kepada daerah[xviii].

Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa bidang-bidang kewenangan yang dimiliki baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah meliputi 4 bidang, yaitu:
  1. Pengaturan;
  2. Pengurusan;
  3. Pembinaan; dan
  4. Pengawasan.

Bidang kewenangan pengaturan mencakup kewenangan untuk membuat aturan, pedoman, norma, maupun standar. Pemerintah pusat membuat pengaturan hal-hal yang bersifat nasional maupun internasional. Propinsi memiliki kewenangan pengaturan yang bersifat regional, sedangkan kabupaten/kota memiliki pengaturan yang bersifat lokal.

Bidang pengurusan dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. Bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya pemberdayaan institusi pemerintah, nonpemerintah maupun masyarakat agar menjadi makin mandiri. Sedangkan kewenangan pengawasan mencakup tindakan untuk menegakkan aturan, norma, serta standar yang telah disepakati.



[i] Sadu Wasistiono, Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokusmedia, Bandung: 2003, hlm. 1
[ii] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta : 1994, hlm. 1
[iii] Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta: 1998, hlm. 7
[iv] Bhenyamin Hoessein, Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah, Jakarta: 2001.
[v] M. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1982, hlm. 145
[vi] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 90
[vii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 39
[viii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 39
[ix] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 92
[x] Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Binacipta, Jakarta: 1984, hlm. 22-23
[xi] Ibid, hlm. 24
[xii] P. Rosodjatmiko, Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung: 1982, hlm. 22-23
[xiii] Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1990, hlm. 16
[xiv] Tresna, Bertamasya ke Alam Ketatanegaraan, Dibya, Bandung: t.t., hlm. 32-36
[xv] Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Binacipta, Bandung: 1979, hlm. 18
[xvi] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 97
[xvii] Tresna, op. Cit., hlm. 37
[xviii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 33

No comments:

Post a Comment