Sunday, September 8, 2013

Politik Hukum Undang-undang Pemerintahan Daerah


Sejak awal, para pendiri negara menyadari bahwa Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan serta penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa, tidak mungkin dikelola secara sentralistik. Dengan kata lain, otonomi bagi kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk merupakan conditio sine quanon. Prinsip dasar tersebut kemudian dituangkan ke dalam konstitusi yang menjadi pedoman dasar dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan[i].

Sejarah pemerintahan di Indonesia telah mengalami pasang naik dan pasang surut sebagai gambaran sebuah dinamika. Sampai saat ini setidaknya telah ada 8 undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, yaitu:
1)     UU No. 1 Tahun 1945;
2)     UU No. 22 Tahun 1948;
3)     UU No. 1 Tahun 1957;
4)     UU No. 18 Tahun 1965;
5)     UU No. 5 Tahun 1974;
6)     UU No. 22 Tahun 1999;
7)     UU No. 32 Tahun 2004; dan
8)     UU No. 20 Tahun 2008.
Akan tetapi, permasalahan yang berkaitan dengan otonomi daerah nampaknya tidak pernah selesai[ii]

Salah satu persoalan yang muncul mewarnai hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah adalah mengenai pembagian kekuasaan. Perubahannya bergerak secara dinamis dari satu kutub yang bersifat sentralistik ke kutub lain yang bersifat desentralistik seperti layaknya sebuah pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk politik[iii].

Pada negara kesatuan, pendulum sentralisasi – desentralisasi idelanya berada pada titik keseimbangan. Negara bangsa tidak mungkin memilih salah satu alternatif sentralisasi atau desentralisasi karena akan memunculkan anarki[iv]. Dalam konteks ini, maka pembicaraan tentang model pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penting supaya pilihan kebijakan yang diambil sekurang-kurangnya dapat memuaskan kalangan masyarakat luas, jika tidak memungkinkan memuaskan semua pihak.

Masalah yang sering menjadi pusat perhatian dalam studi tentang pemerintahan daerah adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi.[v] Jadi, otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis. Artinya, di negara demokrasi dituntut adanya pemerintahan daerah yang mempunyai hak otonomi. Adanya pemerintahan daerah yang demikian itu juga menyempurnakan suatu ciri negara demokrasi, yaitu kebebasan[vi].  Kesimpulan ini diambil karena salah satu karakter demokrasi adalah adanya kebebasan. 

Dalam bahasa yang lain, hubungan antara demokrasi dengan desentralisasi adalah sebagai berikut:
1)     untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty);
2)     untuk menumbuhkan kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka; dan
3)     untuk memberikan pelayanan yang sebaik-banyaknya terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan yang berbeda[vii].

Selanjutnya, bagaimanakah hubungan antara negara hukum dengan desentralisasi? Jamak diketahui, bahwa secara tradisional negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)  adanya undang-undang dasar sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya;
2)  adanya pembagian kekuasaan yang dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan
3)  adanya pemencaran kekuasaan negara/pemerintah[viii].

Berkaitan dengan hal tersebut, maka adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah pusat. Jadi, asas desentralisasi merupakan salah satu cara pembatasan kekuasaan yang dengan demikian mengandung makna sebagai salah cara menegakkan negara hukum.

Hubungan kekuasaan (gezagsverbaounding) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menunjukkan sifat yang vertikal. Suatu kekuasaan sama dengan hak untuk mengambil tindakan yang wajib ditaati[ix].

Pemahaman kekuasaan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek formil dan aspek materiil. Dari aspek formil, kekuasaan adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa dan organ mana yang berhak mengambil tindakan serta syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar kekuasaan itu sah. Jika dilihat dari aspek materiil, maka tindakan kekuasaan merupakan jawaban pertanyaan tentang bagaimana sifat-sifat tindakan itu, apakah mengatur, mengurus, atau mengadili. Dari sudut ini dapat dipahami bahwa urusan merupakan bentuk tindakan kekuasaan dari aspek materiil, sedangkan untuk menjalankan urusan ini, pelaku harus mempunyai kewenangan untuk bertindak[x].

Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan[xi]. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 kedudukan, yaitu

  • sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan
  • sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.

Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 asas, yaitu:

  • asas desentralisasi;
  • asas dekonsentrasi; dan
  • asas tugas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.

Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat[xii].

Ditinjau dari aspek organisasi pemerintahan, maka pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melahirkan adanya dua macam organ pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah wilayah. Pemerintah daerah adalah organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi, yang dalam konteks Indonesia adalah kabupeten/kota. Sedangkan pemerintah wilayah adalah organ pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi[xiii].

Para ahli mengidentifikasikan bagaimana otonomi diberikan dan seperti apa cakupannya ke dalam 3 ajaran yaitu formil, materiil, dan nyata (riil). Keseluruhan ajaran itu menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dalam sistem otonomi formil, pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci di dalam undang-undang. Basis ajaran ini adalah tidak ada perbedaan sifat urusan yang diselenggarakan oleh pusat dan daerah. Sistem ini memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri[xiv]. Jadi, titik berat sistem otonomi formil adalah pertimbangan daya guna dan hasil guna pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab[xv].

Berbalikan dengan sistem otonomi formil, maka sistem otonomi materiil memuat secara rinci pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Basis ajaran ini adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jadi, urusan-urusan pemerintahan itu dianggap dapat dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan[xvi].

Sementara itu, sistem otonomi riil dianggap sebagai kompromi antara kedua sistem terdahulu[xvii]. Dalam sistem ini,  penyerahan urusan kepada daerah otonom didasarkan kepada faktor-faktor riil. Di samping itu, sifat kompromistis nampak bahwa sistem ini mengutamakan sistem otonomi formil karena mengandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem otonomi materiil nampak dengan adanya urusan pangkal yang diserahkan dan dikembangkan kepada daerah[xviii].

Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa bidang-bidang kewenangan yang dimiliki baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah meliputi 4 bidang, yaitu:
  1. Pengaturan;
  2. Pengurusan;
  3. Pembinaan; dan
  4. Pengawasan.

Bidang kewenangan pengaturan mencakup kewenangan untuk membuat aturan, pedoman, norma, maupun standar. Pemerintah pusat membuat pengaturan hal-hal yang bersifat nasional maupun internasional. Propinsi memiliki kewenangan pengaturan yang bersifat regional, sedangkan kabupaten/kota memiliki pengaturan yang bersifat lokal.

Bidang pengurusan dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. Bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya pemberdayaan institusi pemerintah, nonpemerintah maupun masyarakat agar menjadi makin mandiri. Sedangkan kewenangan pengawasan mencakup tindakan untuk menegakkan aturan, norma, serta standar yang telah disepakati.



[i] Sadu Wasistiono, Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokusmedia, Bandung: 2003, hlm. 1
[ii] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta : 1994, hlm. 1
[iii] Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta: 1998, hlm. 7
[iv] Bhenyamin Hoessein, Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah, Jakarta: 2001.
[v] M. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1982, hlm. 145
[vi] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 90
[vii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 39
[viii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 39
[ix] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 92
[x] Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Binacipta, Jakarta: 1984, hlm. 22-23
[xi] Ibid, hlm. 24
[xii] P. Rosodjatmiko, Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung: 1982, hlm. 22-23
[xiii] Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1990, hlm. 16
[xiv] Tresna, Bertamasya ke Alam Ketatanegaraan, Dibya, Bandung: t.t., hlm. 32-36
[xv] Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Binacipta, Bandung: 1979, hlm. 18
[xvi] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 97
[xvii] Tresna, op. Cit., hlm. 37
[xviii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 33

Saturday, September 7, 2013

Nilai-nilai konstitusi yang terkandung dalam Undang Undang Dasar 1945


Undang Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Pernyataan dari Dr. A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya yang berjudul Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (hlm. 215) tersebut menegaskan bahwa konstitusi dan negara merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Menurut Prof. Mr. Djokosutono, pentingnya konstitusi dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi isi (naar de inhoud) karena konstitusi memuat dasar dari struktur dan memuat fungsi negara, serta dari segi bentuk (naar de maker) karena yang memuat konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga. Atau seperti yang disebutkan oleh K.C. Wheare dalam Modern Political Constitution (hlm. 56), konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai wewenang hukum yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konstitusi.

Karena dipercayakannya pembuatan konstitusi tersebut pada satu pihak tertentu, dimungkinkan adanya konstitusi yang sama sekali hampa karena tidak ada pertalian yang nyata antara pihak yang merumuskan konstitusi dengan pihak yang benar-benar menjalankan pemerintahan negara, atau konstitusi yang berlaku namun tidak dapat dijalankan karena kepentingan suatu golongan/kelompok atau kepentingan pribadi penguasa semata. Karenanya, Karl Loewenstein membagi penilaian konstitusi kepada tiga jenis, yaitu:

  • Konstitusi yang mempunyai nilai normatif, konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
  • Konstitusi yang mempunyai nilai nominal, konstitusi yang secara hukum berlaku tetapi kenyataannya kurang sempurna. Sebaba pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
  • Konstitusi yang mempunyai nilai semantik, konstitusi yang secara hukum tetap berlaku namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi kontitusi tersebut hanyalah sekedar suatu istilah belaka, sedangkan dalam pelaksanaannya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa.

Berdasarkan uraian mengenai nilai penting mengenai konstitusi suatu negara di atas (Teori dan Hukum Konstitusi, hlm 63-68), penulis melakukan identifikasi terhadap Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Secara keseluruhan, UUD 1945 merupakan sebuah produk hukum yang tentunya diharapkan memiliki nilai normatif, namun pada kenyataannya masih terdapat nilai-nilai yang hanya bersifat nominal atau bahkan semantik.

Nilai-nilai yang bersifat normatif diantaranya adalah pasal-pasal dalam BAB XV yang membahas bendera, bahasa, lambang serta lagu kebangsaan. Sisanya, menurut analisis penulis, pada umumnya bernilai nominal. Pasal-pasal mengenai perlindungan hak asasi manusia, penjaminan fakir-miskin dan anak terlantar, pendidikan masih hanya merupakan ketentuan konstitusi belaka yang belum diterapkan sepenuhnya. Bahkan beberapa pasal dalam BAB III mengenai kekuasaan pemerintahan negara cenderung bernilai semantik. Seperti dalam pasal 11 hasil amandemen, yang memberikan kekuasaan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat daripada sebelum amandemen, seolah-olah konstitusi merupakan alat melaksanakan kekuasaan politik dengan memanfaatkan kondisi negara yang pada awalnya executive heavy menjadi diarahkan pada legislative heavy.


Oleh karenanya, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang masih bernilai nominal perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk dijadikan sebuah nilai yang normatif. Nilai-nilai yang bersifat semantik pun sudah perlu ditinjau apakah memang perlu dipertahankan atau tidak. Beberapa pasal yang cenderung mengarah pada kekuasaan legislatif yang superior tidak sejalan dengan sistem pemerintahan Indonesia saat ini yang menganut sistem presidensial, seperti yang secara tegas disebutkan dalam pasal 4 ayat (1). Beberapa pasal lainnya pun masih bersifat politis, khususnya yang berkaitan dengan lembaga negara dan kewenangan-kewenangannya, sehingga perlu diingatkan lagi kepada para legislator, bahwa UUD ini membawa kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya semata-mata kepentingan kelompok tertentu saja.

Constitutional Culture: Budaya Konstitusi


Resume dan Terjemahan lepas dari  A Constitutional Culture in Tradition oleh Cheryl Saunders

Constitutional Culture, atau budaya konstitusi, mungkin perlu untuk diperjelas ketika ada kebutuhan untuk memasukkan berbagai hipotesa yang berada di balik sebuah konstitusi, dan berbagai pendekatan yang mempengaruhi pelaksanaannya di dalam praktek. Pada akhirnya, ia dapat merupakan hasil dari pengalaman sejarah, filosofi-filosofi yang dominan, dan situasi ekonomi atau sosial tertentu. Constitutional Culture tidak sinonim dengan konstitusi itu sendiri, walaupun jelas ia akan memiliki pengaruh yang besar terhadapnya.

Kebudayaan selalu menjadi faktor yang kompleks ketika sistem konstitusional atau beberpa aspek darinya ditransplantasi dari satu jurisdiksi ke jurisdiksi lainnya. Transplantasi bukanlah sebuah fenomena baru. Di akhir abad ke-20, kebanyakan sistem konstitusi merupakan sebuah imitasi atau pernah mengimitasi dalam beberapa bagiannya, dengan pengecualian beberapa sistem yang lebih tua seperti Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Permasalahan budaya dapat muncul dari transplantasi, bahkan dalam kasus negara-negara yang berbagi sistem hukum dan tradisi dan secara umum dapat diperbandingkan dalam perkembangan ekonomi mereka, serta pengharapan sosial dan politiknya. Pengaruh budaya atas suksesnya sebuah transplantasi selalu tersembunyi. Ia mulai menarik perhatian yang lebih besar pada tahun 1990an, dalam kebangkitan proses constitution making di Eropa Tengah dan Eropa Timur, di Afrika Selatan dan tempat-tempat lainnya.

Isu budaya paling jelas muncul dari transplantasi atas pengaturan konstitusional di antara legal families yang berbeda atau dalam kondisi yang mensyaratkan format aslinya untuk berhadapan dengan kebutuhan sosial, ekonomi dan politik yang sangat berbeda. Isu budaya ini dapat diperburuk jika transplantasi tersebut dipaksakan bukannya secara sukarela, walaupun dalam kedua kasus tersebut masalah budaya dimungkinkan untuk diperhitungkan dalam proses transplantasinya. Isu budaya juga dapat muncul dari transplantasi bahkan ketika negara-negara yang terlibat dalam proses transplantasi tersebut berbagi sistem hukum dan tradisi yang sama dan dapat diperbandingkan secara luas dalam perkembangan ekonomi serta pengharapan sosial dan politik.

Budaya konstitusional yang memiliki ciri khas biasanya dapat berkembang secara paralel dengan sistem konstitusi apapun. Australia merupakan salah satu contohnya. Beberapa karakteristik yang penting dari budaya konstitusi Australia terlihat jelas bahkan sebelum masa federasi dan berlanjut setelahnya. Singkatnya, masyarakat Australia mementingkan egalitarianism dan fairness, walaupun persepsi atas keduanya dilihat dari sudut pandang komunitas Anglo-Celtic. Sifat tersebut pada akhirnya mengembangkan inovasi dalam pengaturan elektoralnya. Jadi, sejauh ini Australia tidak pernah dikonfrontasi dengan kebutuhan untuk menyelesaikan kunci dibalik konflik-konflik dalam pengaturan konstitusinya yang dapat dilihat dari berbagai model donornya dan merupakan hasil dari budaya konstitusi yang berbeda-beda, atau setidaknya sebagian darinya.


Kesimpulan dari tulisan tersebut, budaya konstitusi merupakan sebuah budaya yang melekat di suatu negara, yang menjadi dasar apa saja hal-hal yang diatur dalam konstitusinya, dan bagaimana pelaksanaannya dalam implementasi undang-undang tersebut dalam prakteknya. Budaya konstitusi merupakan ciri khas setiap negara dan berkembang sejalan dengan sistem konstitusi yang dianutnya.

Konstitusi dan Hukum Konstitusi


Dalam perkuliahan Hukum Konstitusi, objek penelitian utamanya tentu saja adalah ‘Konstitusi’, dan dalam peristilahan ‘Konstitusi’nya sendiri, terdapat beberapa teori mengenai pengertian sesungguhnya. Perdebatan utamanya adalah dikotomi antara Konstitusi dan Undang-undang Dasar.

Memang, dalam praktek ketatanegaraan di banyak negara di dunia (termasuk di Indonesia), ‘konstitusi’ dan ‘undang-undang dasar’ memiliki pengertian yang sama(1). Penyamaan istilah ini telah terjadi sejak Oliver Cromwell menamakan undang-undang dasar sebagai Instrument of Government(2). James Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi adalah kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, fungsi dari alat-alat kelengkapan dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan. Pendapat tersebut ditambahkan oleh C.F. Strong sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas), hak-hak dari yang diperintah dan hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Pengertian konstitusi tersebut telah tercakup secara menyeluruh dalam Undang-undang Dasar, sehingga para ahli tersebut mempersamakan pengertian konstitusi dan undang-undang dasar.

Pendapat yang membedakan keduanya adalah pendapat dari Herman Heller, yang membagi konstitusi menjadi die politische verfassung als gessellschaftlich wirklichkeit(3), die verselbstandigte rechtsverfassung(4)  dan die geshereiben verfassung(5) . Pembagian tersebut menunjukkan bahwa menurut Heller, konstitusi bukan semata-mata hukum tertulis saja, sehingga Undang-undang Dasar sebagai hukum tertulis hanya merupakan bagian dari konstitusi. Begitupun pendapat dari F. Lasalle yang membagi konstitusi sebagai faktor-faktor kekuasaan yang nyata di masyarakat dan konstitusi sebagai suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Menurut pendapat saya sendiri, khususnya melihat pada Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi memiliki pengertian yang sama dengan Undang-undang Dasar, karena pengakuan hukum-hukum yang tidak tertulis tersebut telah ada dalam Undang-Undang Dasar 1945(6)

Selanjutnya adalah mengenai peristilahan Constitutional Law dan Law of The Constitution. Istilah dalam bahasa Inggris tersebut dalam bahasa Indonesia terlihat memiliki pengertian yang sama, yaitu Hukum Konstitusi. Tapi, dalam bukunya yang berjudul Layers of Comparison, Francois Venter menegaskan bahwa kedua istilah tersebut sama sekali berbeda.

Constitutional Law, as a broad discipline of law about principles, mechanism, rules for establishing a constitution, related with organizational structure of the state(7), di Indonesia adalah sebuah ilmu yang lebih dikenal dengan istilah Hukum Tata Negara. Sedangkan Law of The Constitution, adalah apa yang disebut sebagai Hukum Konstitusi, hukum yang mempelajari konstitusi secara khusus.


Literatur:
Teori dan Hukum Konstitusi, Dahlah Thaib, dkk.
Constitutional Comparison: Japan, Germany, Canada and South Africa as Constitutional States, Francois Deventer

---------
(1)  Seperti yang dilakukan oleh Prof. Sri Soemantri dalam disertasinya yang berjudul Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, yang menyamakan istilah ‘konstitusi’ dan ‘undang-undang dasar’.

(2) Undang-undang dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah. Seperti yang juga dinyatakan oleh E.C.S. Wade, pada pokoknya dasar dari setiap pemerintahan diatur dalam suatu Undang-undang Dasar.
(3) Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan.
(4) Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat.
(5) Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
(6) Dalam penjelasan UUD 1945, terdapat pengakuan mengenai adanya konvensi ketatanegaraan, begitu pula dalam pasal 18B terdapat pengakuan atas hukum yang berlaku di wilayah tertentu (hukum shari’a di Aceh, misalnya) dan hukum adat yang hidup dalam kesatuan masyarakat hukum adat.
(7) Pengertian tersebut mengarah pada hukum positif yang berlaku di suatu negara, dan doktrin-doktrin terkait yang ada.