Sejak awal, para pendiri negara menyadari bahwa Indonesia yang wilayahnya terdiri
dari ribuan pulau dan kepulauan serta penduduknya terdiri dari ratusan suku
bangsa, tidak mungkin dikelola secara sentralistik. Dengan kata lain, otonomi
bagi kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada sebelum negara Indonesia
terbentuk merupakan conditio sine quanon. Prinsip dasar tersebut
kemudian dituangkan ke dalam konstitusi yang menjadi pedoman dasar dalam
menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan[i].
Sejarah pemerintahan di Indonesia telah mengalami
pasang naik dan pasang surut sebagai gambaran sebuah dinamika. Sampai saat ini
setidaknya telah ada 8 undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan
daerah, yaitu:
1)
UU
No. 1 Tahun 1945;
2)
UU
No. 22 Tahun 1948;
3)
UU
No. 1 Tahun 1957;
4)
UU
No. 18 Tahun 1965;
5)
UU
No. 5 Tahun 1974;
6)
UU
No. 22 Tahun 1999;
7)
UU
No. 32 Tahun 2004; dan
8)
UU No. 20 Tahun 2008.
Akan tetapi, permasalahan yang berkaitan dengan
otonomi daerah nampaknya tidak pernah selesai[ii].
Salah satu persoalan yang muncul mewarnai hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah adalah mengenai pembagian
kekuasaan. Perubahannya bergerak secara dinamis dari satu kutub yang bersifat
sentralistik ke kutub lain yang bersifat desentralistik seperti layaknya sebuah
pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi dan kondisi
politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang demikian
memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk politik[iii].
Pada negara kesatuan, pendulum sentralisasi –
desentralisasi idelanya berada pada titik keseimbangan. Negara bangsa tidak mungkin memilih salah satu
alternatif sentralisasi atau desentralisasi karena akan memunculkan anarki[iv].
Dalam konteks ini, maka pembicaraan tentang model pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penting supaya pilihan kebijakan
yang diambil sekurang-kurangnya dapat memuaskan kalangan masyarakat luas, jika
tidak memungkinkan memuaskan semua pihak.
Masalah yang sering menjadi pusat perhatian dalam
studi tentang pemerintahan daerah adalah asas otonomi dan pelaksanaan
desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian
dari negara yang menganut paham demokrasi.[v] Jadi,
otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis.
Artinya, di negara demokrasi dituntut adanya pemerintahan daerah yang mempunyai
hak otonomi. Adanya pemerintahan daerah yang demikian itu juga menyempurnakan
suatu ciri negara demokrasi, yaitu kebebasan[vi]. Kesimpulan ini diambil karena salah satu
karakter demokrasi adalah adanya kebebasan.
Dalam bahasa yang lain, hubungan antara demokrasi
dengan desentralisasi adalah sebagai berikut:
1)
untuk
mewujudkan prinsip kebebasan (liberty);
2)
untuk
menumbuhkan kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang
berkaitan langsung dengan mereka; dan
3)
untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-banyaknya terhadap masyarakat yang mempunyai
tuntutan yang berbeda[vii].
Selanjutnya, bagaimanakah hubungan antara negara
hukum dengan desentralisasi? Jamak diketahui, bahwa secara tradisional negara
hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)
adanya
undang-undang dasar sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara
pemerintah dan warganya;
2)
adanya
pembagian kekuasaan yang dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan
3)
adanya
pemencaran kekuasaan negara/pemerintah[viii].
Berkaitan dengan hal tersebut, maka adanya
desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan negara hukum, sebab di
dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah
pusat. Jadi, asas desentralisasi merupakan salah satu cara pembatasan kekuasaan
yang dengan demikian mengandung makna sebagai salah cara menegakkan negara
hukum.
Hubungan kekuasaan (gezagsverbaounding)
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menunjukkan sifat yang
vertikal. Suatu kekuasaan sama dengan hak untuk mengambil tindakan yang wajib
ditaati[ix].
Pemahaman kekuasaan dapat dilihat dari dua aspek,
yaitu aspek formil dan aspek materiil.
Dari aspek formil, kekuasaan adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa dan
organ mana yang berhak mengambil tindakan serta syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi agar kekuasaan itu sah. Jika dilihat dari aspek materiil, maka
tindakan kekuasaan merupakan jawaban pertanyaan tentang bagaimana sifat-sifat
tindakan itu, apakah mengatur, mengurus, atau mengadili. Dari sudut ini dapat
dipahami bahwa urusan merupakan bentuk tindakan kekuasaan dari aspek materiil,
sedangkan untuk menjalankan urusan ini, pelaku harus mempunyai kewenangan untuk
bertindak[x].
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau
kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi
kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggung jawabkan[xi]. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus
diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya,
daerah harus dipandang dalam 2 kedudukan, yaitu
- sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan
- sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah
dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 asas, yaitu:
- asas desentralisasi;
- asas dekonsentrasi; dan
- asas tugas pembantuan.
Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang
sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan
tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik
menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas
dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur
pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah
dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas
melaksanakan.
Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti
bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk
membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat[xii].
Ditinjau dari aspek organisasi pemerintahan, maka
pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
melahirkan adanya dua macam organ pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah
daerah dan pemerintah wilayah. Pemerintah daerah adalah organ daerah otonom
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi, yang
dalam konteks Indonesia adalah kabupeten/kota. Sedangkan pemerintah wilayah
adalah organ pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi[xiii].
Para ahli mengidentifikasikan bagaimana otonomi diberikan dan seperti apa cakupannya
ke dalam 3 ajaran yaitu formil, materiil, dan nyata (riil). Keseluruhan ajaran
itu menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas,
dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dalam sistem otonomi
formil, pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat
dan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci di dalam
undang-undang. Basis ajaran ini adalah tidak ada perbedaan sifat urusan yang
diselenggarakan oleh pusat dan daerah. Sistem
ini memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri[xiv].
Jadi, titik berat sistem otonomi formil adalah pertimbangan daya guna dan hasil
guna pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab[xv].
Berbalikan dengan sistem
otonomi formil, maka sistem otonomi materiil memuat secara rinci pembagian
wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Basis ajaran ini
adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Jadi, urusan-urusan pemerintahan itu dianggap dapat dipilah-pilah dalam
berbagai lingkungan satuan pemerintahan[xvi].
Sementara itu, sistem otonomi
riil dianggap sebagai kompromi antara kedua sistem terdahulu[xvii]. Dalam sistem ini, penyerahan urusan kepada daerah otonom
didasarkan kepada faktor-faktor riil. Di samping itu, sifat kompromistis nampak
bahwa sistem ini mengutamakan sistem otonomi formil karena mengandung gagasan
untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian bagi daerah, sedangkan
sistem otonomi materiil nampak dengan adanya urusan pangkal yang diserahkan dan
dikembangkan kepada daerah[xviii].
Selanjutnya perlu
dikemukakan, bahwa bidang-bidang kewenangan yang dimiliki baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah meliputi 4 bidang, yaitu:
- Pengaturan;
- Pengurusan;
- Pembinaan; dan
- Pengawasan.
Bidang kewenangan
pengaturan mencakup kewenangan untuk membuat aturan, pedoman, norma, maupun
standar. Pemerintah pusat membuat pengaturan hal-hal yang bersifat nasional
maupun internasional. Propinsi memiliki kewenangan pengaturan yang bersifat
regional, sedangkan kabupaten/kota memiliki pengaturan yang bersifat lokal.
Bidang
pengurusan dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun
kabupaten/kota. Bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya pemberdayaan
institusi pemerintah, nonpemerintah maupun masyarakat agar menjadi makin
mandiri. Sedangkan kewenangan pengawasan mencakup tindakan untuk menegakkan
aturan, norma, serta standar yang telah disepakati.
[i] Sadu Wasistiono, Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokusmedia, Bandung: 2003, hlm. 1
[ii] Bagir
Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta : 1994, hlm. 1
[iii] Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta: 1998, hlm. 7
[iv] Bhenyamin Hoessein, Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah, Jakarta: 2001.
[v] M. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta: 1982, hlm. 145
[vi] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 90
[vii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 39
[viii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 39
[ix] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 92
[x] Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Binacipta, Jakarta: 1984, hlm. 22-23
[xi] Ibid,
hlm. 24
[xii] P. Rosodjatmiko, Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung:
1982, hlm. 22-23
[xiii] Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia,
Jakarta: 1990, hlm. 16
[xiv] Tresna, Bertamasya ke Alam Ketatanegaraan, Dibya, Bandung: t.t., hlm. 32-36
[xv] Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Binacipta, Bandung: 1979, hlm. 18
[xvi] Moh. Mahfud M.D., op. Cit., hlm. 97
[xvii] Tresna, op. Cit., hlm. 37
[xviii] Bagir Manan, op. Cit., hlm. 33