Friday, November 6, 2009

Sistem Bikameral di Indonesia Dikaitkan dengan Eksistensi MPR dan Efektivitas DPD


Sistem bikameral atau sistem perwakilan dua kamar, artinya di dalam satu badan perwakilan terdiri dari dua unsur yang sama-sama menjalankan segala wewenang badan perwakilan. Jika kita melihat pada Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen, konsep dewan perwakilan kita tidak menganut sistem bikameral. MPR mempunyai anggota dan lingkungan wewenang sendiri. Demikian pula halnya dengan DPR dan DPD, sehingga justru dapat dikatakan konsepnya menjadi tiga badan perwakilan yang mandiri.

Gagasan mengenai lahirnya DPD muncul dari keinginan untuk mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar (DPR dan DPD) dan meningkatkan peran serta daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. Sebagai konsekuensi dari gagasan dua kamar tersebutlah, diperlukan suatu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakilan tersebut

Melihat eksistensi MPR, dari struktur keanggotaan, anggota MPR adalah derivasi dari anggota DPR dan DPD. Namun, MPR tetap memiliki wewenang sendiri diluar wewenang DPR dan DPD. Padahal, jika memang kita hendak konsisten pada sistem dua kamar, wewenang MPR merupakan wewenang yang melekat pada wewenang DPR dan DPD.

Selain itu, melihat pada efektivitas lembaga DPD. Sekilas, DPD terlihat memiliki lingkungan wewenang sendiri dan merupakan lingkungan jabatan tersendiri. Tapi, jika kita melihat pada pasal 22 D, DPD tampak seperti badan komplementer dari DPR. DPD bukan merupakan sebuah badan legislatif penuh; ia hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan undang-undang di bidang tertentu saja yang disebut secara enumeratif dalam UUD.

Uraian di atas merupakan risalah pengetahuan yang penulis peroleh dari buku karangan Prof. Bagir Manan yang berjudul DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Dari uraian tersebut penulis simpulkan bahwa sistem perwakilan yang tercantum dalam UUD 1945 kita sama sekali tidak dapat disebut sebagai sistem perwakilan dua kamar.

Pertama, hal yang penulis sayangkan adalah efektivitas dari DPD itu sendiri sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar dengan DPR. Apalagi jika kita melihat sesungguhnya konsep DPD tersebut mencontoh Senate dalam Kongres di Amerika Serikat yang anggotanya merupakan perwakilan negara bagian. Senate memiliki kedudukan yang sejajar dengan House of Representatives yang memiliki konsep sama seperti DPR yaitu sebagai perwakilan rakyat. Konsep DPD yang ada dalam UUD sekarang membuatnya --meminjam istilah yang digunakan Prof. Bagir Manan dalam bukunya yang telah disebutkan di atas-- seperti Biro Perancang Undang-undang DPR, terutama pada kerancuan ketika DPD berwenang mengajukan RUU kepada DPR tapi tidak diikutsertakan dalam pembahasan bersama pemerintah. Selain itu, RUU yang berhak diajukan DPD pun terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Sehingga, dapat disimpulkan ,terdapat sebuah gagasan yang salah mengenai DPD di sini. Walaupun DPD merupakan perwakilan daerah, perlu diingat bahwa tujuan dari diikutsertakannya DPD dalam lembaga perwakilan adalah menigkatkan keikutsertaan daerah dalam politik dan penyelenggaraan negara, bukan hanay mengurusi persoalan-persoalan daerah.

Kedua, mengenai eksistensi MPR. Kenaggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Ketika anggota ini menjadi unsur, justru konsepnya berubah. Jika kita benar-benar mengikuti konsep bikameral, yang ditekankan bukanlah anggotanya yang disebut sebagai eksistensi dari MPR, tetapi badannya yaitu DPR dan DPD. Ketika anggota yang menjadi unsur, maka MPR tersebut menjadi sebuah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD. Kewenangannya pun bukan merupakan sebuah kewenangan yang baru, melainkan kewenangan yang memang melekat pada kewenangan DPR dan DPD.

Melihat tiga lembaga perwakilan yang dimiliki di Indonesia, menurut penulis merupakan sebuah langkah yang jika kita menerapkan sistem dua kamar secara konsisten. Dengan diterapkannya sistem ini, maka DPD akan menjadi sebuah lembaga yang produktif, bukan sebuah lembaga yang terkesan tidak memiliki fungsi krusial dan terkesan sebagai lembaga pembantu tugas-tugas DPR saja, seperti yang terlihat pada DPD kini. Fungsi check and balances pun akan berjalan lebih baik, dan kesan super-power DPR seperti yang terlihat sekarang ini tidak akan terjadi, karena DPD akan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan DPR, bukan hanya sekedar status dalam UUD tapi terwujud dalam kewenangan-kewenangan yang lebih berimbang.

Selain itu, dengan sistem dua kamar, MPR akan lebih jelas kedudukannya, bukan hanya seperti sebuah lembaga yang ‘antara ada dan tiada’. Ketika MPR merupakan penjelmaan dari DPR dan DPD yang duduk bersama sebagai sebuah lembaga perwakilan, maka akan jelas eksistensi dari MPR tersebut, yaitu sebagai sebuah lembaga perwakilan yang utuh. Ia tidak akan lebih tinggi dari DPR dan DPD, karena ia merupakan gabungan dari kedunya.

Jadi, dengan menerapkan sistem bikameral atau sistem perwakilan dua kamar secara konsisten di Indonesia, secara otomatis MPR akan memiliki eksistensi yang jelas dan DPD juga akan menjadi sebuah lembaga perwakilan yang lebih efektif. Amandemen ke-5 UUD 1945 pun menjadi sebuah keniscayaan untuk menyeimbangkan kewenangan DPD dan DPR serta menegaskan kembali kedudukan MPR.

2 comments:

  1. Assalaamu'alaikum, saya minta izin untuk mengcopy artikelnya, untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu hukum. Terimakasihhh.

    ReplyDelete